![]() |
Banjir di kawasan IKN |
Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur digadang-gadang sebagai kota masa depan Indonesia: hijau, cerdas, dan berkelanjutan. Tapi di balik megahnya proyek ini, ada kisah lain yang jarang diangkat: banjir yang datang silih berganti, kekeringan ekstrem yang mengintai, dan protes warga yang merasa alamnya terusik.
Bukan Sekadar Hujan Deras
Banjir di kawasan IKN dan sekitarnya, seperti dilaporkan media Kompas merupakan hikayat tentang manusia yang lupa diri. Pembangunan infrastruktur besar-besaran—seperti jalan tol, pemukiman, dan area industri—telah mengubah wajah Kalimantan Timur. Hutan-hutan yang dulu menjadi penyerap air kini berganti beton. Aliran sungai terhambat, drainase tak memadai, dan tanah kehilangan kemampuannya menyerap air.
Warga di sekitar IKN mengeluh: “Dulu, hujan berhari-hari tak pernah banjir. Sekarang, hujan 3 jam saja air sudah masuk rumah,” kata seoang warga Balikpapan. Banjir bukan lagi tamu langka, tapi jadi “tetangga” yang datang tiap musim hujan.
Kekeringan Ekstrem: Ancaman yang Tak Terduga
Ironisnya, di saat banjir menjadi rutinitas, ancaman kekeringan ekstrem juga mengintai. Studi terbaru yang dirilis media Tempo menyebutkan, perubahan iklim dan alih fungsi lahan membuat Kalimantan Timur rentan terhadap dua bencana yang bertolak belakang: banjir dan kekeringan. Saat musim kemarau, cadangan air tanah menyusut drastis. Daerah yang dulu hijau kini kesulitan menyimpan air.
Kita fokus mengatasi banjir, tapi lupa bahwa kekeringan bisa lebih mematikan,” ujar peneliti lingkungan
“Ini seperti bom waktu. dalam studi tersebut.
Proyek Tol yang Memicu Masalah
Konflik lingkungan di IKN tidak hanya tentang air. Media menceritakan rangkaian kejadian yang memicu kemarahan warga. Pembangunan jalan tol Balikpapan-IKN dianggap mengabaikan dampak lingkungan. Aktivitas pembangunan menyebabkan getaran yang merusak rumah warga, longsor di beberapa titik, dan banjir yang semakin parah.
Warga akhirnya menggugat proyek ini ke pengadilan. “Kami tidak anti-pembangunan, tapi kami ingin hak hidup layak dijamin,” tegas perwakilan warga. Gugatan ini menjadi simbol perlawanan masyarakat kecil yang merasa suaranya tenggelam dalam gegap gempita pembangunan.
Hikayat banjir dan kekeringan di IKN adalah cerita tentang ambisi manusia yang kadang melampaui batas alam. Jika terus diabaikan, kota masa depan ini bisa jadi contoh buruk bagaimana pembangunan malah merusak kehidupan. Masyarakat luas perlu memahami bahwa setiap kebijakan pembangunan punya konsekuensi. Banjir hari ini atau kekeringan besok adalah hasil dari pilihan kita hari ini.
Bukan Sekadar Hujan Deras
Banjir di kawasan IKN dan sekitarnya, seperti dilaporkan media Kompas merupakan hikayat tentang manusia yang lupa diri. Pembangunan infrastruktur besar-besaran—seperti jalan tol, pemukiman, dan area industri—telah mengubah wajah Kalimantan Timur. Hutan-hutan yang dulu menjadi penyerap air kini berganti beton. Aliran sungai terhambat, drainase tak memadai, dan tanah kehilangan kemampuannya menyerap air.
Warga di sekitar IKN mengeluh: “Dulu, hujan berhari-hari tak pernah banjir. Sekarang, hujan 3 jam saja air sudah masuk rumah,” kata seoang warga Balikpapan. Banjir bukan lagi tamu langka, tapi jadi “tetangga” yang datang tiap musim hujan.
Kekeringan Ekstrem: Ancaman yang Tak Terduga
Ironisnya, di saat banjir menjadi rutinitas, ancaman kekeringan ekstrem juga mengintai. Studi terbaru yang dirilis media Tempo menyebutkan, perubahan iklim dan alih fungsi lahan membuat Kalimantan Timur rentan terhadap dua bencana yang bertolak belakang: banjir dan kekeringan. Saat musim kemarau, cadangan air tanah menyusut drastis. Daerah yang dulu hijau kini kesulitan menyimpan air.
Kita fokus mengatasi banjir, tapi lupa bahwa kekeringan bisa lebih mematikan,” ujar peneliti lingkungan
“Ini seperti bom waktu. dalam studi tersebut.
Proyek Tol yang Memicu Masalah
Konflik lingkungan di IKN tidak hanya tentang air. Media menceritakan rangkaian kejadian yang memicu kemarahan warga. Pembangunan jalan tol Balikpapan-IKN dianggap mengabaikan dampak lingkungan. Aktivitas pembangunan menyebabkan getaran yang merusak rumah warga, longsor di beberapa titik, dan banjir yang semakin parah.
Warga akhirnya menggugat proyek ini ke pengadilan. “Kami tidak anti-pembangunan, tapi kami ingin hak hidup layak dijamin,” tegas perwakilan warga. Gugatan ini menjadi simbol perlawanan masyarakat kecil yang merasa suaranya tenggelam dalam gegap gempita pembangunan.
Hikayat banjir dan kekeringan di IKN adalah cerita tentang ambisi manusia yang kadang melampaui batas alam. Jika terus diabaikan, kota masa depan ini bisa jadi contoh buruk bagaimana pembangunan malah merusak kehidupan. Masyarakat luas perlu memahami bahwa setiap kebijakan pembangunan punya konsekuensi. Banjir hari ini atau kekeringan besok adalah hasil dari pilihan kita hari ini.
sumber berita: kompas, tempo, kaltimpost